Kapan nyusul?
Sepatah kata pertanyaan yang mampu mengheningkan gelak
tawa. Memberikan pemikiran mendasar untuk bergerak kedepan.
Kemarin
malam, ada acara keluarga besar dirumah. Prosesi lamaran gitu. Sodara sepupu
aku, Mba Dinda, dilamar sama pacarnya, mas Putra. Acara berjalan lancar sih, penuh rahmat dan
cipika-cipiki antara keluarga besar masing-masing (padahal mata sambil
merem-merem). Aku sama sodaraku yang lain, si Aji. Nggak lain adalah sesama
penghuni rumah ini, sesama saling beradu nasib dikota orang, dan juga sesama...numpang tinggal. Kita ini udah punya rencana dan tujuan lain dibalik acara ini,
yang udahberjam-jam kita pikirkan. Mata kita hanya tertuju pada satu objek.
Ya, makanan-makanan dalam
cathering yang genit menggoda. Melambai-lambai penuh hasrat untuk segera dinikmati. Sengaja dari sore hari perut udah aku kosongin, biar malemnya bisa ngemuat berbagain macam makanan yang memang udah nggak sabar buat digauli. Eh.
cathering yang genit menggoda. Melambai-lambai penuh hasrat untuk segera dinikmati. Sengaja dari sore hari perut udah aku kosongin, biar malemnya bisa ngemuat berbagain macam makanan yang memang udah nggak sabar buat digauli. Eh.
Disini
juga semacam quality time gitu, kumpul-kumpul keluarga besar. Berbagi cerita
harian, saling tertawa satu sama lain. Seperti udah nggak ketemu 20tahunan aja. Kami saling berjabat tangan,
saling cipika-cipiki, saling cibi (baca:ciumbibir), LOH. Soalnya
udah lama nggak ngumpul gini. Wajarlah
untuk melakukan hal-hal yang sedikit ekstrim. Maklum sih
udah abege beranjak gede, jadi punya kesibukan masing-masing (padahal aku sama Aji sehari-harinya cuman
kayak ikan pepes diatas kasur, tidur). Saling ngobrol hari-hari kuliahlah,
keadaan di rumah atau Semarang lah, juga tentang bahasan yang lebih privasi.
Pacar. Mendengar kata itu
telingaku seakan tersengat lebah. Sakit. Ketika yang lain
mulai bercerita mengenai pacarnya masing-masing, aku sama si Aji diam-diam
kudeta dari lingkaran gosip, menuju ke kehidupan yang lebih baik. Stand makanan.
‘Daripada
bahas begituan mending kita berburu makanan, ya nggak ka hahaha’ kata Aji
dengan matanya yang udah jelalatan
kayak lagi ngeliat cewek bugil aja.
‘Iya
juga sih ya hahaha’ aku berjalan membuntuti si Aji, layaknya Scooby-Doo yang ngikutin Shaggy kemanapun. (aku
bukan anjing). Oke, gaje.
Beberapa
saat kemudian kitapun balik ke formasi abege lagi, yang sedang asik ngerumpi
tanpa memikirkan keadaan perut mereka yang meronta-ronta. Si Aji membawa dua porsi
makanan, nggak heran juga sama ukuran bodinya yang kayak kuda laut.
‘Darimana
aja kalian, lagi asik-asik ngumpul malah ngilang.’ Celetuk Mba Ani, kakaknya
Aji.
‘Biasa...cucimata
dululaah hehe’ jawab Aji sekenanya.
‘Cucimata
apa ngisi perut lo.’ timpal Mayang.
Setelah beberapa saat,
mulai lagi bahasan yang nyengat
telinga itu, Mayang yang memulainya.
‘Gimana
sama kalian?’
‘Gimana
apanya sih?’ jawab aku bego.
‘Itu,
hubungan lo sama pacar lo. Atau jangan-jangan...’
‘LO
JOMBLO YAAA!!!’ timpal mereka semua sambil ketawa jahat penuh semangat.
Aku
sama si Aji cuman diem sambil tertunduk lesu. Seakan nasib begitu sial. Dalam
hati aku menyungut‘situasi yang sangat melecehkan harga diri'.
Akhirnya karena aku
nggak mau direndahkan, maka aku balas.
‘Aku
nggak jomblo!’
‘Terus
apa? Kok ditanya pacar lo mana malah diem.’ bales Dana, adik si Mayang.
‘Aku
single bukan jomblo!’
‘Yeeee...sama
aja kaliiii’ jawab mereka sambil kesel.
‘Kan
beda. Kalo jomblo itu kesannya miris banget kayaknya nggak laku-laku.’
‘Emang
lo laku?’ seru suara dari belakang, ternyata si Rani yang baru ngambil minum.
‘Kayak
nggak tau aku aja, kan gini-gini yang naksir banyak hahaha’
‘Cuman
nggak ada yang pas aja, beda kalo sama si Aji tuh. Jangankan cewek, bencong Kaligawe aja ogah
ngelirik dia hahaha’ lanjut aku sambil terbahak.
‘Taikloka...’
bales Aji sewot.
Beberapa
saat kami berdebat soal bahasan yang
menyengat telinga itu, saling nyeritain masing-masing
pengalaman, pamer segala macamlah tentang pacarnya. Sampai muji-muji layaknya Pangeran Harry dari
Inggris aja. Sampai gendang telinga rasanya mau pecah. Cuman kita berdua yang diem. Hanya bisa memamerkan perut kami yang
mulai membuncit dengan gagahnya. Lupakan. Sampai tiba-tiba Mba Dinda lewat
sambil lari terseok-seok, kayak dikejar Hendro
(sejenis makhluk penunggu alas roban).
‘Kenapa,
Mba? Tanya kita-kita.
Hening.
Nggak
ada jawaban dari Mba Dinda, cuman nglewati kita-kita sambil terseok-seok masuk WC dengan Hendro
yang mengikuti dari belakangnya sambil mengaung. (Hendro ini setengah serigala bertubuh kuda).
Selang
beberapa menit Mba Dinda muncul lagi, seperti hantu yang dateng dan pergi seenaknya. Kali ini tanpa Hendro dibelakangnya. Mungkin
Hendro nyangkut dibolongan WC. Atau jangan-jangan itu memang rumahnya.
‘Kayaknya
lagi pada asik ngerumpi nih, ngebahas apaan?’
‘Hahaha biasa anak-anak
abege baru gaul gitu.’ timpal kami.
‘Haaah? Kalian habis digauli sama siapa?!’
‘Abege gaul bukan digauli zzzz’ Jawab kami
mangkel.
Sepertinya Hendro telah masuk ketelinga Mba
Dinda, makannya jadi salah denger gitu. Atau masuk ke dalam otaknya, karena
diketahui Hendro selain makhluk yang menyeramkan, juga sedikit mesum. Gak
nyambung.
‘Asik, gerombolan
Prajitno junior nih.’ Terdengar semacam nama
boyband penuh dengan orang idiot. Nggak nggak. Prajitno itu nama keluarga besar
kami, Ayah dari para orangtua kami. Oke lupakan.
‘Eh,
kalian kapan nyusulin nih? Yang cowo kapan pada ngelamar cewenya, nah yang cewe
kapan kapan dilamar, jangan-jangan cuman PHP lagi hahaha’ sahut Mba Dinda lagi.
‘Kalo
kita-kita sih nunggu waktu, nggak tau kalo si Eka sama Aji hahaha’
‘Monyet
semua’ jawab aku sama Aji gondok.
Aku ngerasa ada
ditempat yang salah, semacam ketika jaman ospek, pembullyan yang teramat brutal. Mungkin bisa menyebabkan korbannya gagar otak.
‘Loh
Eka sama Aji masih jomblo? Udah kuliah lhooo.’ celetuk Mba Dinda.
‘Kita
bukan jomblo, cuman single. Melainkan dalam fase pencarian pujaan hati, untuk
nemuin seseorang yang pas.’ jawab aku sok puitis.
‘Bisa
aja lo ngelesnya, Ka. Terus kapan? Waktu terus berjalan lho, makin hari makin
tua. Jangan sampe jadi perjaka tua hahaha’ sahut Mba Dinda diiringi gelak tawa
sodara laknat.
‘Gatau
deh, Mba.’ bales aku lesu.
‘Nyari
itu gausah nurutin keinginan kita, nggak
ada habisnya. Mending nyari yang sesuai dengan kebutuhan, yang bisa saling
mengisi satu sama lain.’
Aku diem, perlahan
mencerna arti kata itu.
Suasanapun
kembali terpecah, kamipun kembali ngerumpi ria dibarengi gelak tawa. Tapi
disudut kursi aku masih mikir tentang perkataan Mba Dinda tadi. ‘Kapan nyusul?’
Bertanya-tanya pada diri sendiri, seolah seperti orang bego seketika. Lebih
susah ngejawabnya dari soal kalkulus sekalipun.
Jampun
terus berputar. Menunjukkan pukul 22.00, acara lamaranpun selesai dengan lancar
(bagi aku amat menyiksa). Sodara-sodara mulai pada pulang. Aku, Aji, Mba Ani
nggak lupa untuk sekedar bantu-bantu ngeberesin. Nggak enak juga numpang, masa
iya mau masa bodoh aja. Selesai beres-beres kami masuk kamar masing-masing. Aku
yang sekamar bareng Aji cuman bisa meringkuk disudut kasur. Karena emang
badannya yang dua kali lipat dari badanku dan, satu kasur berdua.
Malam
semakin larut tapi belum juga tidur. Acara tv nggak ada yang bagus, udah
dimerem-meremin juga nggak bisa tidur. Sedangkan disebelah , seperti ada suara
kerbau bergemuruh. Pikir aku ngapain kerbau jam1 malem masih melek, apa lagi
pada ronda, atau juga insomnia kayak aku. Serem juga bayangin kerbau insomnia
ngeronda sambil mata merah penuh darah. Lupakan. Makin lama makin keras,
gemuruh itu makin mengganggu, berubah menjadi dengkuran-dengkuran hebat. Lama-lama
bisa keluar nanah juga dari telinga. Pas aku buka selimut sambil nengok ke
samping, ternyata ada kerbau beneran! Kerbau itu terlelap tidur dengan mulut
setengah terbuka, dengan selimut yang membungkusnya. Ternyata ini sodaraku,
Aji. Ini manusia apa kerbau panggang saos tiram.
Aku
masih saja bergulat dengan mata, memaksakannya untuk tertidur. Sepintas aku
teringat percakapan tadi. Percakapan tentang ‘kapan nyusul?’. Sejenak aku
terdiam, dan bertanya pada diri sendiri ‘kapan waktuku? Kapan waktuku untuk bergerak
kedepan. Mengisi dan menutup hati ini dengan satu orang yang mampu ngeyakinin
semua keraguan untuk bergerak kedepan.’ Menyusul Mas Putra, yang sebagai
laki-laki menjawab semua keraguan itu dengan prosesi lamaran, dan bersiap untuk
menjadikannya pendamping hidup, yang menemani perjalanannya susah senang
didunia ini.
Aku pikir, aku
butuh waktu untuk itu semua.
Tapi
disisi lain, hati ini sudah terisi dan tertutup. Dengan seseorang berupa
bayangan, yang mampu ngeyakinin keraguan hati yang selama ini membayangi. Cukup
dengan kamu untuk mengisi dan memberi kehidupan pada hati ini, memberi
warna-warni kehidupan yang telah lama padam. Memang kamu masih hanya sebuah
bayangan, tapi suatu saat nanti aku akan mencoba untuk menjadikanmu sebagai
kenyataan. Tinggal menunggu perkara waktu
untuk menjawabnya, berharap semesta berpihak dan... restu Tuhan, untuk
mewujudkannya.
hahhhahaaaa apik chan terbitin aja sekalian #salam damai
BalasHapus